Layanan Difabel

 


Oleh: Hildayati


Dilansir dari online REPUBLIKA JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berupaya meningkatkan literasi keuangan dan memperluas akses keuangan masyarakat termasuk para penyandang disabilitas agar memiliki kesempatan dan kemampuan untuk lebih mandiri secara finansial atau merdeka finansial. OJK mengungkap, saat ini tantangan yang dihadapi adalah kesetaraan akses produk dan jasa keuangan di Indonesia untuk para penyandang disabilitas.


Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi menekankan kemerdekaan finansial harus dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, termasuk para penyandang disabilitas. Saat ini OJK terus melakukan strategi keuangan inklusi kepada penyandang disabilitas sebagai satu dari sepuluh target prioritas yang dituju. Salah satunya adalah menyediakan Anjungan Tunai Mandiri (ATM) untuk disabilitas,  saat ini baru Bank Negara Indonesia (BNI) yang menyediakan fasilitas tersebut.


Jangan Dieksploitasi


Memang betul bahwa para penyandang disabilitas membutuhkan kemudahan dan fasilitas untuk melakukan aktivitas ekonomi. 

Mereka memang perlu dilatih kemandiriannya. Apalagi jika mereka adalah para laki-laki yang punya kewajiban menafkahi diri dan keluarganya. Namun, jangan sampai program pemberdayaan ekonomi para difabel ini ujung-ujungnya ternyata eksploitasi ekonomi.


Patut diingat bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Tanggung jawab ini tidak boleh diabaikan atau dialihkan. Bagi rakyat yang organ tubuhnya sempurna saja, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasarnya, apalagi bagi rakyat yang disabilitas. Tentu mereka lebih membutuhkan jaminan dari negara.


Negara tidak boleh memandang para difabel sebagai beban ekonomi atau beban APBN. Setiap warga negara adalah tanggung jawab negara, seperti apa pun kondisi fisik mereka. Para difabel justru merupakan ladang pahala bagi penguasa untuk mengurusi mereka. Mereka bukan beban, melainkan pihak yang wajib diurusi.


Negara juga tidak boleh membebani para difabel agar mereka menopang perekonomian nasional. Tidak boleh demikian. Sejatinya kehadiran para difabel dalam UMKM merupakan jalan terakhir usaha mereka mencari nafkah karena tidak banyak penyedia kerja yang menerima karyawan difabel. 


Akhirnya usaha informal menjadi satu-satunya kesempatan mereka untuk berusaha.

Oleh karenanya, negara tidak boleh menggantungkan perekonomian nasional pada para difabel. Jika negara menggantungkan perekonomian pada difabel, apakah tidak merasa malu? Tentu malu. Orang yang tubuhnya sempurna kok menggantungkan diri pada orang yang organ tubuhnya tidak sempurna.


Selain itu, yang seharusnya menjadi sumber ekonomi strategis adalah sumber daya alam, yaitu berbagai tambang migas maupun nonmigas yang kita miliki. Jangan sampai negara menjual murah sumber daya alam pada swasta asing dan lokal, tetapi target pertumbuhan ekonomi lantas dibebankan pada pihak yang lemah yaitu wong cilik (UMKM) dan kalangan tuna (difabel). Ini sungguh ironis.


Ketika memberikan bantuan pada para difabel, tidak boleh ada kekhawatiran bahwa mereka akan menjadi manja. Sejatinya mereka memang berhak dibantu karena mereka adalah tanggung jawab negara. Memberi bantuan pangan pada difabel tidak akan membuat mereka manja, justru mereka akan terpacu untuk produktif karena ada negara yang peduli padanya.


Justru tidak manusiawi ketika negara hanya memberikan pelatihan dan pinjaman modal, lantas para difabel membuat usaha dan harus bersaing secara bebas dengan korporasi raksasa. Namun, nyatanya kondisi tidak manusiawi ini terjadi di dalam kapitalisme. Para difabel dilatih untuk memproduksi barang-barang yang selanjutnya dia jual, misalnya kerajinan tangan, tetapi dia harus bersaing dengan produk sejenis buatan pabrik atau produk impor yang lebih murah dan pemasarannya lebih masif. Bagaimana mereka bisa bersaing? Ini jelas eksploitasi.


Wujud Nyata

Islam memosisikan penguasa sebagai pengurus rakyatnya. Penguasa bertanggung jawab terhadap kebutuhan rakyatnya, baik yang fisiknya sempurna maupun difabel. 


Orang difabel memiliki kedudukan yang sama dengan orang lain. 

Allah Taala berfirman, 


“Tidak ada halangan bagi tunanetra, tunadaksa, orang sakit, dan kalian semua untuk makan bersama dari rumah kalian, rumah bapak kalian atau rumah ibu kalian.” (TQS An-Nur: 61).


Wujud pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap warga difabel adalah sama dengan warga umumnya, yaitu memastikan kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Namun, ada detail ri’ayah (pengurusan) yang harus diperhatikan negara terkait dengan kondisi fisik mereka.


Dalam pembangunan infrastruktur, negara harus memperhatikan kebutuhan kaum difabel. Misalnya dengan penyediaan penanda khusus di jalan pedestrian sehingga orang tunanetra tahu batas tepi jalan dan terhindar dari risiko tertabrak. Masih banyak lagi detail pembangunan infrastruktur ramah difabel yang perlu dipikirkan negara agar para difabel bisa menjalankan aktivitas secara mandiri, termasuk untuk mencari nafkah.


Terkait pemenuhan kebutuhan dasar para difabel, untuk kebutuhan dasar yang sifat pemenuhannya kolektif, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan, negara menyediakannya secara langsung. Khilafah akan menyediakan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis dan berkualitas untuk seluruh rakyat, baik yang fisiknya sempurna maupun yang difabel.


Para difabel akan mendapatkan layanan istimewa karena kondisi fisik mereka yang membutuhkan penanganan ekstra. Negara bisa membuat sekolah dan rumah sakit khusus difabel. Negara juga bisa memberi santunan berupa alat bantu untuk kekurangan fisik mereka, misalnya alat bantu dengar, kaki palsu, dll..


Untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang pemenuhannya individual, yaitu sandang, pangan, dan papan, negara juga akan memperhatikan. Jika mereka masih bisa bekerja, negara akan memfasilitasi. Jika mereka tidak bisa bekerja atau tidak wajib bekerja (misal perempuan, anak-anak, dan orang tua) serta masih ada keluarga yang bisa memberi nafkah, negara akan memastikan nafkah tersebut mereka peroleh. Jika tidak ada keluarga yang mampu menafkahi, negaralah yang akan memberikan santunan.


Ri’ayah Islam


Negara yang menerapkan Islam secara kaffah sudah mempraktikkan ri’ayah pada difabel ini dengan sangat baik. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, memerintahkan para pejabat Syam agar mendata para tunanetra, pensiunan, orang sakit, dan jompo guna memperoleh tunjangan. Perintah tersebut mereka jalankan dengan baik, bahkan sejumlah tunanetra memiliki pelayan yang menemaninya setiap waktu. 


Kebijakan yang sama juga ditempuh oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Sementara itu, di Baghdad, Abu Ja’far al-Manshur mendirikan rumah sakit khusus untuk penyandang cacat. Inilah bukti nyata tindakan Khilafah dalam menyejahterakan para difabel, bukan justru mengeksploitasi mereka. Wallahualam bissawab.

Comments

Popular posts from this blog

Danramil/ 05 Tanjung Balik Laksanakan Penanaman Vetiver

Latihan Staf Operasional Super Garuda Shield